Langsung ke konten utama

Gender

KARTINI DI SPBU
Pagi-pagi sudah meninggalkan rumah, melayani pembeli bahan bakar di SPBU hingga larut malam. Fenomena yang pada tahun-tahun terakhir ini sering kita lihat. Banyak pegawai SPBU perempuan, kemajuan dalam bidang teknologi bukan??. Perempuan, wanita, hawa atau apapun sebutan bagi makhluk yang dikenal nomor dua setelah laki-laki ini, yang biasanya memasak, yang gampang menangis ketika ada sesuatu menyentuh perasaannya. Dikatakan tidak “melek” teknologi, yang biasanya memegang alat-alat dapur. Lihatlah, sekarang mereka memasuki dunia yang katanya milik laki-laki. Pekerjaan mengoperasikan mesin-mesin pemompa bahan bakar, kini bisa dilakukan oleh perempuan. Masih banyak pekerjaan yang mulai digeluti perempuan padahal pada beberapa waktu lalu hanya didominasi oleh laki-laki. Namun, yang gampang kita temui adalah melihatnya sebagai karyawan SPBU.
Kesenjangan gender dalam ilmu pengetahuan dan teknologi sebenarnya disosialisasikan dari ketika anak masih kecil. Ketika seorang anak perempuan diminta ayahnya untuk mengambilkan remort TV, dalam hal ini perkerjaan yang sifatnya melayani diidentikkan dengan tugas perempuan. Tetapi ketika sang ayah akan mengganti baterai remort TV nya, dia akan meminta anak laki-lakinya untuk melakukan pekerjaan tersebut. Sama-sama objeknya remort TV tetapi dalam peran yang berbeda. Lho, apakah pekerjaan mengganti baterai remort TV tidak bisa dilakukan oleh perempuan? Dalam pendidikan awal dari keluarga tersebut mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi akan terbawa atau berlanjut sampai ketahapan berikutnya, di lingkungan sekolah, masyarakat, dan tempat kerja pun tidak luput dari penerapan bahwa dunia teknologi adalah milik laki-laki.
Astuti, 2007, dalam bahan ajar antropologi gender UNNES, memberikan contoh sebuah perubahan teknologi yang akhirnya justru memarginalkan perempuan pedesaan yang memang tidak bisa mengakses teknologi yang diberlakukan. Hal ini terjadi ketika ada revolusi dibidang pertanian, yang dikenal dengan revolusi hijau. Masuknya mesin-mesian modern di dunia pertanian telah menggantikan tenaga kerja perempuan di dunia pertanian. Dipakainya pestisida dengan alat-alat modern juga meminggirkan peran perempuan dalam merawat tanaman. Bukan berarti teknologi ini jelek, akan tetapi dampak yang muncul ternyata sungguh luar biasa. Perempuan desa berbondong-bondong pergi kekota untuk kerja di sektor marginal yang tentu saja bukan hi-tech, karena justru diperkotaan industri sudah mulai menggunakan mesin-mesin modern yang ini juga tidak bisa diakses oleh perempuan desa tersebut.
Hal itu terjadi ketika revolusi industri di Inggris, pada dekade sekarang ini perempuan tidak hanya duduk manis dan hanya bisa “nrimo” ketika menjadi bahan ejekan para laki-laki bahwa perempuan yang penting bisa membuat sambal yang lezat baru boleh menikah, atau yang lebih parah lagi ada guyonan yang mengatakan perempuan tidak perlu “neko-neko” kalau sudah bisa di tiga tempat yaitu di sumur, di dapur dan dikasur dikatakan sudah menjadi perempuan idaman. Sebuah hal yang membuat telinga para perempuan panas, apalagi para ibu yang mengalami double bourden (beban ganda) ketika harus menjadi ibu rumah tangga dan juga mencari nafkah. Terlebih lagi jerih payahnya masih dibilang sebagai pencari nafkah tambahan, bukan utama, menambah penghasilan, membantu suami, walaupun tidak jarang uang yang mereka dapatkan lebih banyak dari gaji suaminya. Patut diacungi jempol bagi para penerus Kartini masa kini, yang mendobrak budaya memarjinalkan perempuan dalam berbagai bidang. Dibidang pendidikan kita sudah banyak melihat perempuan mendapatkan gelar akademik seperti Profesor, bidang politik dengan keterlibatan perempuan sebagai anggota parlemen, walaupun kiprah mereka di politik belum memenuhi kuota. Bahkan sekarang dibuktikan bahwa perempuan mampu menguasai bidang teknologi, jurusan seperti teknik otomotif, mesin, dan lain sebaginya. Tentunya kemajuan ini perlu didukung semua pihak, jangan ada lagi cemoohan dari masyarakat untuk perempuan yang menjalani kegiatan yang bagi sebagian orang dinilai pekerjaan milik laki-laki. Perempuan karyawan SPBU, supir Busway, supir becak tidak seharusnya menjadi bahan ejekan atau dinilai tidak wajar. Buktikan bahwa negara kita mampu melaksanakan kesetaraan gender disemua bidang. Maju terus perempuan Indonesia, semoga tetap mendapatkan apa yang menjadi haknya tanpa harus melupakan apa yang menjadi kewajibannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Batik Penajam Paser Utara

Soal Semester Genap Sosiologi Kelas XI IPS

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN SMA NEGERI I PANINGGARAN Alamat : Jl. Raya Paninggaran Pekalongan  É (0285) 521044 › 51164 Website : www.sman1paninggaran.sch.id E-mail : smanpaninggaran@yahoo.co.id   ULANGAN AKHIR SEMESTER G ENAP TAHUN PELAJARAN 2011 / 2012   PETUNJUK UMUM : 1.     Tulislah nama, nomor peserta, kelas/program pada lembar jawaban. 2.     Semua jawaban dikerjakan pada lembar jawaban yang tersedia. 3.     Kerjakan terlebih dahulu soal yang anda anggap paling mudah. 4.     Teliti kembali pekerjaan anda sebelum dikumpulkan. PETUNJUK KHUSUS : A.   Untuk soal nomor 1 s.d. 45  berilah tanda silang (X) pada huruf A , B , C , D , atau E yang anda anggap paling benar pada lembar jawaban yang tersedia! B.   Untuk soal no. 46 s.d. 50   jawablah dengan benar! Pilihan Ganda 1.     Masyarakat multikultural dapat diberi pengertian sebagai masyarakat yang... a.     Terdiri dua atau lebih kelompok atau go

PTK sosiologi

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Masalah Banyak kalangan pelajar menganggap belajar adalah aktivitas yang tidak menyenangkan, duduk berjam-jam dengan mencurahkan perhatian dan pikiran pada suatu pokok bahasan, baik yang sedang disampaikan guru maupun yang sedang dihadapi di meja belajar. Kegiatan ini hampir selalu dirasakan sebagai beban daripada upaya aktif untuk memperdalam ilmu. Mereka tidak menemukan kesadaran untuk mengerjakan seluruh tugas-tugas sekolah. Banyak diantara siswa yang menganggap, mengikuti pelajaran tidak lebih sekedar rutinitas untuk mengisi daftar absensi, mencari nilai, melewati jalan yang harus ditempuh, dan tanpa diiringikesadaran untuk menambah wawasan ataupun mengasah ketrampilan. Menurunnya gairah belajar, selain disebabkan oleh ketidaktepatan metodologis, juga berakar pada paradigma pendidikan konvensional yang selalu menggunakan metode pengajaran klasikal dan ceramah, tanpa pernah diselingi berbagai metode yang menantang untuk berusaha. T