Langsung ke konten utama

Anatomi Teori Fenomenologi Edmund Husserl

Anatomi Teori Edmund Husserl (Fenomenologi) Disusun dalam rangka menyelesaikan tugas mata kuliah Konsep dan Teori Sosial dengan Dosen Pengampu Dr. Hamdan Tri Atmaja, M.Pd Oleh : Luluk Wulandari (0301513027) Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2014 Edmund Husserl (Teori Fenomenologi) Edmund Gustav Albrecht Husserl adalah nama asli dari Edmund Husserl yang disebut - sebut sebagai pencetus teori fenomenologi dalam ilmu filsafat manusia. Ia lahir di Prostejov, Moravia, Ceko (yang saat itu merupakan bagian dari kekaisaran Austria). Karyanya meninggalkan orientasi yang murni positiv dalam sains dan filsafat pada masanya dan mengutamakan pengalaman subyektif sebagai sumber dari semua pengetahuan kita tentang fenomenologi obyektif. Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga Yahudi di Prostejov. Husserl adalah murid Franz Brentano dan Carl Stumpf, karya filsafatnya mempengaruhi antara lain, Edith Stein (St. Teresa Benedicta dari Salib) Eugen Fink, Max Scheler, Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Emmanuel Levinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl, Marice Merlau Ponty dan Roman Ingarden. Pada tahun 1886, dia mempelajari psikologi dan banyak menulis tentang fenomenologi. Tahun 1887, Husserl pindah agama menjadi kristen dan bergabung dengan Gereja Lutheran. Ia mengajar filsafat di Halle sebagai seorang tutor (Privatedozent) dari tahun 1887, lalu di Gottingen sebagai profesor dari 1901, dan di Frenburg im Breisgau dari 1916 hingga pensiun pada tahun 1928. Setelah itu ia melanjutkan penelitiannya dan menulis dengan menggunakan perpustakaan Frenburg, hingga kemudian dilarang menggunakannya karena ia keturunan Yahudi yang saat itu di pimpin oleh rektor dan sebagian karena pengaruh dari bekas muridnya yang juga anak emasnya, Martin Heidegger. Husserl meninggal dunia di Frenburg pada tanggal27 April 1938 dalam usia 79 tahun akibat penyakit pneumonia. Sementara itu dalam penelurusan Bernet dan kawan - kawannya dalam bukunya “An Introduction to HUsserlian Phenomenology” dapat ditemukan keseluruhan karya Husserl, dan di pilahnya dengan kategorisasi yang rinci.Sebagai seorang fenomenologi, Husserl mencoba menunjukkan bahwa melalui metode fenomenologi mengenai pengarungan pengalaman biasa menuju pengalaman murni, kita bisa mengetahui kepastian absolut dengan susunan penting obyek - obyek merupakan tujuan aksi - aksi tersebut. Dengan demikian filsafat akan menjadi sebuah ilmu setepat - tepatnya dan pada akhirnya kepastian akan diraih. 1. Konteks Sosial Edmund Husserl lahir di Prossnitz pada tahun 1859 dan meninggal di Freiburg, Breisgau, pada tahun 1938. Ia adalah seorang filsof keturunan Yahudi. Masa mudanya dilalui antara lain dengan belajar astronomi dan matematika di Leipzig dan Berlin, tempat ia memperoleh gelar doktor dalam bidang matematika, dengan disertasinya yang berjudul “Beiträge zur Variationsrechnung” (1883). Dari tahun 1884 sampai dengan tahun 1886 ia mengikuti pelajaran Brentano di Wina. Di situ ia bertekad untuk menekuni filsafat. Akhirnya ia menjadi dosen (Privatdozent) di Halle (1887-1901), Goetingen dan Freiburg. Termasuk di antara mahasiswanya adalah Max Scheller dan Martin Heidegger.[13] Karena pengaruh Brentano, ia menulis buku Filsafat Aritmatik tahun 1891. Kemudian ia menulis dua jilid buku Logische Untersuchungen (Penyelidikan Logika, 1900-1901). Dalam buku tersebut ia menunjukkan posisi independennya dan kemudian posisinya dipertegas lagi dalam “Ide Mengenai suatu Fenomenologi Murni dan Sebuah Filsafat Fenomenologis”. Jilid I dari buku ini selesai ditulis olehnya pada tahun 1913, sedangkan jilid II dan III diterbitkan pada tahun 1952, setelah ia meninggal. Pandangannya mengenai sejarah Eropa dapat dibaca dalam karyanya tentang Krisis Ilmu Pengetahuan dan Fenomenologi Transendental. Kemudian dalam perjalannan intelektualnya, masih dalam alur fenomenologi, karena – antara lain — pengaruh Franz Brentano, seorang filosof yang memainkan peran penting di Universitas Wina pada waktu itu, pula sempat mengelaborasi pemikiran tentang intensionality.[14] Ia – sendiri — memulai karirnya di bidang matematika, dan memperoleh gelah Ph.D. dalam bidang matematika pada tahun 1881. Lalu ia menyiapkan apa yang disebut orang Jerman Habilitationsschrift (karangan yang harus ditulis setiap sarjana – sesudah doktoralnya – sebelum diizinkan menjadi dosen di universitas), yang berjudul Ueber den Begrif der Zahl (1887). yang berisi mengenai konsep bilangan. [15] Pada tahun 1901, Ia ditugasi sebagai profesor di Universitas Göttingen (1901-1916). Sewaktu mengajar di sana pemikiran fenomenologisnya mencapai kematangan. Ia sempat menulis satu artikel panjang yang dainggap sebagai semacam program bagi fenomenologinya: Philosophie als strenge Wissenschaft ( 1911), yang berisi penjelasan tentang Filsafat sebagai “Ilmu Rigorus”.[16] Setelah itu, Ia terus berkarya berkaitan dengan program peran intelektualnya dan program fenomenologinya. Antara lain ia menulis karya besar yang berjudul Die Krisis der Europaische Wissenschaften und die transzendentale Phaenomenologie (Krisis dalam Ilmu-ilmu Pengetahuan di Eropa dan Fenomenologi Transendental), tetapi hanya sebagian yang terbit sewaktu ia masih hidup. Baru sesudah meninggalnya, L. Landgrebe menerbitkan lagi buku Husserl berjudul Erfahrung und Urteil (Pengalaman dan Putusan), pada tahun 1939.[17] Secara kronologis Bernet meringkas biografi Edmund Husserl sebagai berikut: (1) Born April 8th, 1859 in Prossnitz (or Prostejow, Moravia) [Years of Study]; (2) 1876/77 — 1877-78: studies astronomy at the University of Leipzig; (3) 1878 — 1880/81: studies mathematics with L. Kronecker & C. Weierstrass at University of Berlin; (4) 1881 — 1881/82: studies mathematics at University of Vienna; (5) 1882, October 8th: acceptance of Husserl’s Ph.D. dissertation at University of Vienna; (6) 1883, January 23rd: Ph.D. promotion; (7) 1884, April 24th: Husserl’s father dies; (8) 1884/5 — 1886: studies with Franz Brentano at University of Vienna; (9) 1886/87 — 1887: studies with Carl Stumpf at University of Halle; (10) 1887, August 6th: marries Malvine Steinschneider [Years at Halle]. (11) 1887: Husserl begins carreer at the University of Halle as Privatdozent; (12) 1901: first meeting with Max Scheler [Years at Göttingen]; (13) 1901, September: Husserl moves to University of Göttingen; (14) 1901, September: appointment as Extraodinarus Professor; (15) 1904: meets with Theodore Lipps & his students in Munich; (16) 1905: meets William Dilthey in Berlin; (17) 1906: appointment as Ordinarius Professor; (18) 1909: Paul Natorp visits Husserl; (19) 1910: collaborates with H. Rickert as editor of Logos; (20) 1912: Jahrbuch für Philosophie und phänomenologische Forschung established with Moritz Geiger, Alexander Pfänder, Adolf Reinach & Husserl as chief editor; (21) 1913: Karl Jasper vists Husserl [Years at Freiburg]; (22) 1916, January 5th: appointment to Freiburg; (23) 1916, March 8th: Husserl’s son Wolfgang is killed; (24) 1916, April 1: Husserl moves to University of Freiburg im Breisgau; (25) 1917: Husserl’s son Gerhart wounded; (26) 1917, July: Husserl’s mother dies; (27) 1918, April 10: Husserl begins a correspondence with the Göttingen physicist and mathematician, Hermann Weyl. The letter is regarding Husserl’s approval of Weyl’s approach to the foundations of mathematics (analysis) in the latter’s book: Das Kontinuum. [Thanks to Richard Feist (co754@freenet.carleton.ca) for this information.]; (28) 1922, June: lectures in London, meets with J. Ward, G.F. Stout, & G.E. Moore; (29) 1924-25: Rudolf Carnap attends Husserl’s seminars; (30) 1924: Dorion Cairns visits Husserl; (31) 1926: Heidegger presents dedicated copy of Sein und Zeit to Husserl; (32) 1927-28: works with Heidegger on Encyclopedia Britannica article [Emeritus professor]; (33) 1928, March 31: Husserl retires; (34) 1928, April: goes to Berlin for Carl Stumpf’s 80th birthday; (35) 1928, April: lectures in Amsterdam, meets L.E.J. Brouwer & Lev Shestov; (36) 1928: Eugen Fink begins working with Husserl; (37) 1929, February: lectures in Paris, meets L. Lévy Bruhl, E. Meyerson, A. Koyré, J. Hering, & E. Levinas; (38) 1929, April 8th: presentation of Festschrift by Heidegger on 70th birthday; (39) 1929, summer: Herbert Marcuse & wife study with Husserl; (40) 1931, June: lectures in Germany; (41) 1931-32: Dorion Cairns visits Husserl for second time; (42) 1933, November: offered chair at University of Southern California in Los Angelos; (43) 1934, August: invited to Prague; (44) 1935, May 7th: lectures in Vienna; (45) 1935, November: lectures in Prague; (46) 1936, January 15th: withdrawal of teaching license; (47) 1937, June 8th: Husserl disallowed to participate in 9th International Congess of Philosophy in Paris; (48) Dies April 27, 1938 [18] Pada saat meninggalnya, Husserl banyak sekali meninggalkan manuskrip. Van Breda berhasil membawanya ke Louvain pada tahun 1939 dengan maksud menyelamatkannya dari incaran Nazi. Atas inisiatif Arsip Husserl, mulai tahun 1950 diadakanlah publikasi atas karya Husserl yang masih berupa manuskrip itu. Terbitan-terbitan tersebut ialah: (1) Ide Mengenai Fenomenologi (1950); (2) Filsafat Pertama; (3) Psikologi Fenomenologis (1956); (4) Fenomenologi Kesadaran Waktu Mengenai Waktu (1966) dan (5) Analisis Sistesis Pasif (1966). Manuskrip yang diterbitkan oleh Landgrebe, yaitu Pengalaman dan Keputusn (1939). Sedangkan yang lain, Dunia, Saya dan Waktu diterbitkan oleh G. Brand pada tahun 1955.[19] Sementara itu ada data lain yang menyebutkan bahwa karya-karya tulis Edmund Husserl adalah: (1) Über den Begriff der Zahl. Psychologische Analysen, 1887; (2) Philosophie der Arithmetik. Psychologische und logische Untersuchungen, 1891; (3) Logische Untersuchungen. Erste Teil: Prolegomena zur reinen Logik, 1900; reprinted 1913; (4) Logische Untersuchungen. Zweite Teil: Untersuchungen zur Phänomenologie und Theorie der Erkenntnis, 1901; second edition 1913 (for part one); second edition 1921 (for part two); (5) “Philosophie als strenge Wissenschaft,” Logos 1 (1911) 289-341; (6) Ideen zu einer reinen Phänomenologie und phänomenologischen Philosophie. Erstes Buch: Allgemeine Einführung in die reine Phänomenologie, 1913; (7) “Vorlesungen zur Phänomenologie des inneren Zeitbewusstseins,” Jahrbuch für Philosophie und phänomenologische Forschung 9 (1928), 367-498; (8) “Formale und transzendentale Logik. Versuch einer Kritik der logischen Vernunft,” Jahrbuch für Philosophie und phänomenologische Forschung 10 (1929) 1-298; (9) Méditations cartésiennes, 1931; (10) “Die Krisis der europäischen Wissenschaften und die transzentale Phänomenologie: Eine Einleitung in die phänomenologische Philosophie,” Philosophia 1 (1936) 77-176. [20] 2. Pemikiran dan Teori yang Berpengaruh Husserl belajar pada Brentano. Ia mengambil alih istilah intensionalitas[39] dari Brentano, yang kemudian menjadi titik awal pembahasan filosofisnya. Dari sini Husserl menegaskan sebuah prinsip: “semua kegiatan berdasarkan kesadaran bersifat intensional”[40], yakni keterarahan pada suatu obyek spesifik. Masalah ini menyangkut soal pembahasan mengenai pengalaman, pengetahuan dan pekerjaan jiwa. Soal pengalaman dan pengetahuan dicari dasarnya pada kegiatan kejiwaaan. Husserl mengangkat program psikologistik ini ke dalam matematika. Dalam karyanya yang pertama, Husserl mengatakan bahwa konsep terdalam dan dasariah matematika dan logis (seluruh, bagian, kesatuan, pluralitas dan sebagainya) mengatasai semua definisi logiko-formal. Maksudnya, hanya menunjukkan fenomen[41]- (psikis) kongkret. Dengan atau bersama dengan fenomen-fenomen itu, metode matematika dibuat. Istilah lain yang sering digunakan oleh Husserl dalam fenomenologinya adalah: “constitution”. Dengan konstitusi dimaksudkan proses tampaknya fenomenon-fenomenon mengkonstitusi diri dalam kesadaran. Dan karena adanya korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan juga bahwa konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Husserl mengatakan bahwa dunia dunia real dikonstitusi oleh kesadaran.[42] Karena kritik dari G. Frege dan B. Bolzano, Husserl meninggalkan pendekatan psikologisme dari Brentano. Hal ini dapat dibaca dalam Logika Penyelidikan. Jangan bingung dengan fakta-fakta psikis, aliran temporal kesadaran (Erlebnisstrom) yang kini dan sekarang tertentu, dengan makna logis yang dalam fakta bersangkutantampak dan berasal dari kodrat universal dan ideal. Sekarang tinggal masalah makna logis dan pada umumnya mengenai makna universalitas pikiran, yang dalam Frege, dan ahli logika tetap tidak dapat diselesaikan. Dalam jilid II Penyelidikan Logika, Husserl menggariskan sebuah psikologi deskriptif (yang kemudian disebutnya “fenomenologi”) yang berdasarkan pada konsep ganda mengenai intuisi[43], yakni intuisi empirik yang mengarah kepada obyek individual, dan intuisi kategorial. Intuisi kategorial mengarah pada obyek umum (general), sesuatu yang universal atau formal dalam dirinya (misalnya: merah, segitiga, angka dua, dan seterusnya. Dengan kata lain, yang disentuh di sini adalah esensi atau ide. Ke sanalah fenomenologi mengarah. Ini termasuk dalam bidang “a priori”, atau struktur yang stabil, pengalaman yang membentuk obyek pengetahuan ilmiah. Berkaitan dengan ini Husserl berbicara mengenai ontologi bidang (regional). Maksudnya, pembeberan fenomenologis mengenai cara berada aneka macam benda, atau bidang di mana hal beradanya mencuat.[44] Ketika menulis tentang Penyelidikan Logika, Husserl masih terombang-ambing di antara deskripsi secara psikologis dan ontologi murni yang ketat ilmiah. Keraguan ini menumbuhkan kemungkinan aneka perkembangan fenomenologi, misalnya: fenomenologi mengenai kegiatan emosional, mengenai obyek etika, mengenai struktur pengetahuan. Hal ini merupakan salah satu sebab timbulnya salah pengertian dan pertentangan dalam schools (mazhab-mazhab) fenomenologi itu sendiri. Dalam penyelidikan logika, obyek-obyek ini dipahami sebagai sesuatu yang jelas dengan sendirinya, sebagai fakta yang jelas. Obyek-obyek itu memberi kejelasan duniawi, kata Husserl. Sedang dalam Ide Mengenai sebuah Fenomenologi Murni dan Filsafat Fenomenologis, Husserl mengadakan “reduksi fenomenologis” untuk mencapai dimensi di mana fenomen-fenomen menampakkan diri dalam kejelasan penuh, sebagai data asali. Pencarian ini sampai kepada sisa fenomenologis, dan ini termasuk dalam bidang transendental kesadaran murni. Dimensi ini menjadi bidang pembahasan fenomenologi di mana terdapat kejelasan yang tidak perlu dibimbangkan lagi.[45] 3. Latar Belakang Sosial Edmund Gustav Albrecht Husserl dilahirkan pada tanggal 8 April 1859 di Prostějov, Moravia, Ceko (yang saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Austria). Ia adalah seorang filsuf Jerman yang dikenal sebagai bapak fenomenologi. Karyanya meninggalkan orientasi yang murni positivis dalam sains dan filsafat pada masanya, dan mengutamakan pengalaman subyektif sebagai sumber dari semua pengetahuan kita tentang fenomena obyektif. Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga Yahudi di Prostějov (Prossnitz). 4. Pertanyaan yang Diajukan Sebagai studi filsafat, fenomenologi dikembangkan di Universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl; kemudian dilanjutkan oleh Martin Heidegger, Max Scheler dan yang lainnya. Bahkan Jean-Paul Sartre pun memasukkan fenomenologi dalam eksistensialisme-nya.[8] Istilah “Fenomenologi” pertama kali digunakan oleh J. H. Lambert (1728 – 1777). Kemudian istilah itu juga digunakan oleh Immanuel Kant, Hegel serta sejumlah filosof lain. Namun semuanya mengartikan istilah fenomenologi secara berbeda. Baru Edmund Husserl yang memakai istilah fenomenologi secara khusus dengan menunjukkan metode berpikir secara tepat.[9] Contoh misalnya, dalam karya Hegel yang berjudul “Phenomenolgy of Spirit”. Pemaknaan Hegel terhadap teori “fenomena” dalam buku ini berbeda dengan “fenomena” menurut Husserl. Menurut Hegel, “fenomena” yang kita alami dan tampak pada kita merupakan hasil kegiatan yang bermacam-macam dan runtutan konsep kesadaran manusia serta bersifat relatif terhadap budaya dan sejarah. Husserl menolak pandangan Hegel mengenai relativisme fenomena budaya dan sejarah, namun dia menerima konsep formal fenomenologi Hegel serta menjadikannya prinsip dasar untuk perkembangan semua tipe fenomenologi: fenomenologi pengalaman adalah apa yang dihasilkan oleh kegiatan dan susunan kesadaran kita. Menurut Husserl, fenomena adalah realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan subyek dengan realitas, karena realitas itu sendiri yang tampak bagi subyek. Dengan pandangan seperti ini, Husserl mencoba mengadakan semacam revolusi dalam filsafat Barat. Hal demikian dikarenakan sejak Descartes, kesadaran selalu dipahami sebagai kesadaran tertutup (cogito tertutup), artinya kesadaran mengenal diri sendiri dan hanya melalui jalan itu dapat mengenal realitas. Sebaliknya Husserl berpendapat bahwa kesadaran terarah pada realitas, dimana kesadaran bersifat “intensional”, yakni realitas yang menampakkan diri. Sebagai seorang ahli fenomenologi, Husserl mencoba menunjukkan bahwa melalui metode fenomenologi mengenai pengarungan pengalaman biasa menuju pengalaman murni, kita bisa mengetahui kepastian absolut dengan susunan penting aksi-aksi sadar kita, seperti berpikir dan mengingat, dan pada sisi lain, susunan penting obyek-obyek merupakan tujuan aksi-aksi tersebut. Dengan demikian filsafat akan menjadi sebuah “ilmu setepat-tepatnya” dan pada akhirnya kepastian akan diraih. Lebih jauh lagi Husserl berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua orang dan manusia dapat mencapainya. Dan untuk menemukan kebenaran ini, seseorang harus kembali kepada “realitas” sendiri. Dalam bentuk slogan, Husserl menyatakan “Zuruck zu den sachen selbst” — kembali kepada benda-benda itu sendiri, merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap obyek memiliki hakekat, dan hakekat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita mengambil jarak dari obyek itu, melepaskan obyek itu dari pengaruh pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka obyek itu ”berbicara” sendiri mengenai hakekatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita. Namun demikian, yang perlu dipahami adalah bahwa benda, realitas, ataupun obyek tidaklah secara langsung memperlihatkan hakekatnya sendiri. Apa yang kita temui pada “benda-benda” itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakekat. Hakekat benda itu ada di balik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi hakekat, maka diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang digunakan untuk menemukan pada pemikiran kedua ini adalah intuisi dalam menemukan hakekat, yang disebut dengan wesenchau, melihat (secara intuitif) hakekat gejala-gejala. 5. Proposisi yang ditawarkan Edmund Husserl dikenal sebagai filosof yang menyajikan metode fenomenologis dalam filsafatnya. Fenomenologi, sebagai sebuah istilah kebahasaaan, berasal dari bahasa Yunani “phainomenon dan logos”. Phainomenon berarti tampak dan phainein berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang fenomen-fenomen yang menampakkan diri kepada kesadaran kita.[22] Atau, dalam penjelasan lain dikatakan bahwa istilah Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainestai, artinya: “menunjukkan” dan menampakkan dirinya sendiri”. Sebelum Edmund Husserl (1859-1938) istilah tersebut telah digunakan oleh beberapa filosof.[23] Immanuel Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan nomena adalah realitas yang berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya mengenal fenomena-fenomena yang tampak dalam kesadaran , bukan nomena (yaitu) “realitas di luar” (berupa benda-benda atau hal yang menjadi obyek kesadaran kita) yang kita kenal.[24] Nomena “yang tampak” tetap menjadi teka-teki dan tinggal sebagai “x” yang tidak dapat dikenal karena ia terselubung dari kesadaran kita. Fenomena yang tampak dalam kesadaran kita ketika berhadapan dengan realitas (nomena) itulah yang kita kenal. Melihat warna biru, misalnya, tidak lain adalah hasil cerapan inderawi yang membentuk pengalaman batin yang diakibatkan oleh sesuatu dari luar. Warna biru itu sendiri merupakan realitas yang tidak dikenal pada dirinya sendiri (in se). Ini berarti kesadaran kita tertutup dan terisolasi dari realitas.[25] Edmund Husserl[26] mengajukan konsepsi yang berbeda dengan pendahulunya. Ia menyatakan bahwa tugas fenomenologi, menurut pendapatnya, adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukanlah sesuatu yang berada pada dirinya sendiri lepas dari manusia yang mengamati. Realitas membutuhkan manusia; manusia adalah tempat di mana realitas itu mewujudkan diri. Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang tampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya atau dalam ungkapannya “zurück zu den sachen selbt”[27] (kembalilah pada realitas itu sendiri). Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan, bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas itu sendiri yang tampak setelah kesadaran kita mencair dengan realitas. Fenomenologi Husserl bertujuan mencari yang esensial atau esensi (eidos) dari fenomena itu.[28] Dalam mencari yang essensial bermula dari membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka (presuppositionlessness). Dalam konteks ini Husserl menjelaskan: … that at first We shall put out of action all the conviction we have been accepting up to nom, including all our science. Let the idea guiding our meditation be at first the Cartesian idea of a science that shall be established as radically as genuine, ultimately all-embracing science.[29] (… yang pertama, kita harus menghilangkan dari tindakan kita semua keyakinan yang kita miliki sampai sekarang, mencakup semua pengetahuan kita. Biarkan ide itu menuntun semua melalui perenungan kita pada (jati dirinya) sejak awal menjadi ide Cartesian mengenai sesuatu ilmu yang akan dikukuhkan seradikal mungkin (pada tingkat kemurniannya), yang (pada) akhirnya merangkul semua ilmu pengetahuan). Sebagai lawan dari presuppositionlessness adalah prejudice (prasangka) atau disebut prasupposisi, yaitu semacam asumsi atau merupakan wilayah material dan ide dalam pikiran, semacam kawasan eksistensi,, proses pengalaman atau semacam sistem pengetahuan.[30] Husserl dalam hal ini mengajukan metode epochenya. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda putusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti memberi tanda kurung terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang tampil.[31] Tanpa memberikan putusan benar-salahnya terlebih dahulu. Dalam hal ini Husserl mengatakan bahwa epoche merupakan thesis of the natural standpoint[32] (tesis tentang pendirian yang bersifat alami), dalam arti bahwa fenomena yang tampil dalam kesadaran benar-benar alamitanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. 6. Jenis Realitas Jenis realitas dalam ilmu sosial dipahami dalam dua konsepsi, yaitu realitas objektif dan realitas subyektif. Realitas objektif bersifat empiris diatur oleh hukum-hukum dan mekanisme alamiah yang berlaku secara universal, dapat diukur dengan standard tertentu, dan digeneralisasi, serta terbebas dari konteks dan waktu. Sedangkan realitas subyektif bersifat interpretif, merupakan hasil konstruksi mental dari individu-individu pelaku sosial, karenanya realitas itu dipahami secara beragam oleh setiap individu. 7. Lingkup Realitas 8. Empat Prinsip Dasar Fenomenologi 9. 1. Perhatian terhadap Aktor 10. Persoalan dasarnya di sini menyangkut persoalan metodologi. Bagaimana caranya untuk mendapatkan data tentang tindakan sosial itu sesubyektif mungkin. 11. Pendekatan obyektif seperti yang diterapkan dalam ilmu alam justru tidak akan mampu mengungkapkan kenyataan sosial secara obyektif. Manusia yang menjadi obyek atau sasaran penyelidikan sosiologi itu bukan hanya sekedar obyek dalam dunia nyata yang akan diamati, tetapi manusia itu sekaligus merupakan pencipta dari dunianya sendiri. 12. Lebih dari itu, tingkah laku manusia yang tampak secara obyektif dalam artian nyata itu sebenarnya hanya merupakan bagian saja dari keseluruhan tingkah lakunya. Ia menginterpretasikan tingkah lakunya sendiri. Akan sangat naïf jika orang menyatakan mampu memahami keseluruhan perilaku manusia hanya dengan mengamati perilaku yang tampak darinya. 13. 2. Fokus: Kenyataan Penting dan Sikap Wajar 14. Fenomenologi memusatkan perhatian pada kenyataan yang penting atau yang pokok dan kepada sikap yang wajar atau alamiah (natural attitude). 15. Untuk memahami masyarakat, tidak semua gejala sosial perlu diamati. Karena itu perhatian harus dipusatkan kepada gejala yang penting dari tindakan manusia sehari-hari dan terhadap sikap-sikap wajar 16. Bagi fenomenologi, bukan fakta sosialnya yang perlu dipelajari tapi bagaimana proses terbentuknya fakta sosial tersebut. 17. 3. Fokus pada masalah Mikro 18. Fenomenologi memusatkan perhatian kepada masalah mikro. 19. Fenomenologi mempelajari proses pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial pada tingkat interaksi tatap muka untuk memahaminya dalam hubungannya dengan situasi tertentu. 20. 4. Memperhatiakn Perubahan dan Proses Tindakan 21. Fenomenologi memperhatikan perubahan dan proses tindakan. 22. Fenomenologi berusaha memahami bagaimana keteraturan dalam masyarakat diciptakan dan dipelihara dalam pergaulan sehari-hari. 23. Norma-norma dan aturan-aturan yang mengendalikan tindakan manusia dan yang memantapkan struktur sosial dinilai sebagai hasil interpretasi aktor terhadap kejadian-kejadian yang dialaminya karena manusia bukanlah wadah yang pasif sebagai tempat menyimpan dan mengawetkan norma-norma. 24. Konstruksi Sosial 25. Bagi fenomenologi, masyarakat adalah hasil konstruksi sosial 26. Tujuan utama fenomenologi sosial adalah untuk mengungkap interaksi diantara proses tindakan-tindakan manusia, struktur situasional dan konstruksi sosial. 27. Realitas 28. Beberapa teori sosial memandang bahwa realitas itu ada di luar individu 29. Bagi Fenomenologi, realitas berada di dalam diri manusia yaitu dunia subyektif manusia 30. Suatu teori harusnya tidak berbicara tentang apa yang berada di luar kesadaran manusia, tapi tentang bagaimana dan dengan jalan apa dimensi subyektif aktor diciptakan, dipelihara dan dirubah. 31. Aktor yang Otonom 32. Asumsi tentang Individu dan Masyarakat Konstruksi Sosial Bagi fenomenologi, masyarakat adalah hasil konstruksi sosial Tujuan utama fenomenologi sosial adalah untuk mengungkap interaksi diantara proses tindakan-tindakan manusia, struktur situasional dan konstruksi sosial. Realitas Beberapa teori sosial memandang bahwa realitas itu ada di luar individu Bagi Fenomenologi, realitas berada di dalam diri manusia yaitu dunia subyektif manusia Suatu teori harusnya tidak berbicara tentang apa yang berada di luar kesadaran manusia, tapi tentang bagaimana dan dengan jalan apa dimensi subyektif aktor diciptakan, dipelihara dan dirubah. Istilah fenomenologi memiliki tiga konsep. Pertama, ia merupakan salah satu nama teori sosial mikro yang secara garis besar konsepnya adalah “setiap gejala atau peristiwa apa saja yang muncul tidak pernah berdiri sendirian”. Dengan kata lain, selalu ada rangkaian peristiwa lain yang melingkupinya. Selain itu, menurut fenomenologi, yang tampak bukan merupakan fakta atau realitas yang sesungguhnya, sebab ia hanya merupakan pantulan-pantulan yang ada di baliknya. Kedua, fenomenologi merupakan jenis paradigma penelitian sebagai kontras dari positivistik. Jika positivistik merupakan akar-akar metode penelitian kuantitatif, maka fenomenologi merupakan akar-akar metode penelitian kualitatif. Jika positivistik lebih memusatkan perhatian pada data yang empirik dan mencari hubungan antar-variabel, maka fenomenologi sebaliknya berfokus pada data abstrak dan simbolik dengan tujuan utama memahami gejala yang muncul sebagai sebuah kesatuan utuh. Ketiga, fenomenologi merupakan jenis penelitian kualitatif yang konsep dasarnya adalah kompleksitas realitas atau masalah itu disebabkan oleh pandangan atau perspektif subjek. Karena itu, subjek yang berbeda karena memiliki pengalaman berbeda akan memahami gejala yang sama dengan pandangan yang berbeda. Lewat wawancara yang mendalam, peneliti fenomenologi berupaya memahami perilaku orang melalui pandangannya. “Human behaviour is a refelection of human mind”. Yang membedakan dengan jenis penelitian kualitatif yang lain, fenomenologi menggunakan orang sebagai subjek kajian, bukan teks atau organisasi, dsb. Contoh pertanyaaan penelitian fenomenologi adalah : (1) Bagaimana hubungan antara guru-guru baru dan para seniornya? (2). Apa makna pengalaman mengajar bagi guru-guru muda yang baru mengajar?. [6] 33. Metodologi Husserl menamakan kegiatan kesadaran noesis dan obyek yang bersangkutan dengan kegiatan itu, yakni obyek yang dimaksudkan disebut obyek noema, Lebih lanjut ia mengatakan mengenai intuisi esensi (Wessenschau). Misalnya, dalam matematika murni, terdapat intuisi esensi yang menghasilkan pernyataan-pernyataan. Pernyataan ini tidak merupakan generalisasi empiris, karena termasuk dalam tipe yang lain, tetapi termasuk pernyataan a priori. Fenomenologi pada umumnya merupakan analisis deskriptif mengenai esensi atau struktur ideal. Hal ini memungkinkan misalnya, fenomenologi nilai, tetapi dapat pula analisis fenomenologis mengenai struktur-struktur dasar kesadaran, yang diteruskan bahwa struktur ini direduksikan kepada esensi atau eidos. Husserl menekankan satu hal penting: “penundaan keputusan”. Keputusan harus ditunda (epoché) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial obyek kesadaran. Dengan penundaan ini eksistensi dikurungkan. Misalnya, saya ingin mengembangkan analisis fenomenologis mengenai pengalaman estetis yang berhubungan dengan keindahan. Saya menunda semua keputusan yang bersangkutan dengan subyektivitas dan obyektivitas keindahan dalam pengertian ontologis tetapi mengarahkan perhatian langsung kepada struktur esensial pengalaman estetis sebagaimana tampak pada kesadaran. Istilah epoche diterjemahkan dalam bahasa Jerman menjadi Einklammerung atau ke dalam bahasa Indonesia “pengurungan”. Dalam kaitan dengan metode Husserl, epoche fenomenologis sinonim dengan masukan dalam tanda kurung (Einklammerung), reduksi. Maksudnya, tidak ada pengandaian dunia material dan dunia transenden pada kehidupan kesadaran. Bidang kesadaran yang ada di luar kurung dan yang dapat ditematisasikan begitu saja (reduksi transendental). Kesadaran sebagai aliran pengalaman-pengalaman individual pada waktunya direduksikan kepada kesadaran murni melalui “reduksi eidetik” Seperti Descartes, Husserl ingin menekankan penundaan keputusan (pernyataan) mengenai status ontologis obyek kesadaran, sebagai usaha-usaha untuk memantapkan dasar kuat pada filsafatnya. Hal ini dapat dilihat dalam karyanya Filsafat sebagai Ilmu Sesungguhnya (Philosophie als Strenge Wissenschaft). Ini menjadi dasar yang mengatasi semua pengandaian. Oleh karena itu, orang tidak perlu bimbang dan bertanya-tanya. Dalam kehidupan sehari-hari kita membuat asumsi-asumsi eksistensial, misalnya mengenai eksistensi obyek fisik yang berdiri sendiri dari kesadaran. Kita perlu mengurung sikap kodrati ini. Bukan soal bahwa asumsi itu salah dan tidak dapat dijustifikasi. Masalahnya di sini adalah bahwa secara metodologis kita mengatasi asusmsi dan dapat melihat di balik hal yang tidak dapat diragukan atau diatasi di balik kesadaran itu sendiri. Kita tidak dapat membicarakan kedudukan ontologis nilai-nilai sampai menjadi jelas bagi kita apa yang sedang kita katakan dan apa maksud nilai itu. Ini dinyatakan dengan analisis fenomenologis. Oleh karena itu fenomenologi merupakan filsafat dasar: mendahului dan menjadi dasar filsafat ontologis (metaphysics).[49] Pandangan Husserl mengenai epoche membuatnya sama dengan metode kebimbangan Descartes. Dalam hal ini, Husserl melihat bahwa dalam filsafat Descartes dalam ukuran tertentu sudah mengantisipasi fenomenologi. Ia menekankan pula bahwa eksistensi dari diri dalam pengertian sebagai substansi rohani/spiritual, atau seperti dikatakan Descartes sebagai res cogitans mesti dikurung. Jelas, ego tidak dapat begitu saja dihilangkan. Tetapi subyek yang diminta sebagai yang terkait dengan obyek kesadaran merupakan ego transendental atau ego murni, subyek sebagai subyek. Hal ini menjadi bahan kesibukan fenomenologi murni.[50] 1. 5. Reduksi: Zur den Sachen Selbst Husserl melihat perlunya reduksi atau penyaringan agar kita sampai pada benda itu sendiri: Zur den Sachen Selbst. Menurut dia, terdapat tiga macam:reduksi:[51] 1. Reduksi fenomenologis. Menyaring pengalaman sehingga orang sampai pada fenomen semurni-murninya. Kita harus melepaskan benda itu dari pandangan-pandangan lain: agama, adat, dan pengetahuan. Kalau berhasil kita akan sampai pada fenomen yang sebenarnya.[52] 2. Reduksi eidetik. Semua yang lain bukan inti eidos, fenomen perlu diletakkan di dalam tanda kurung. Dengan demikian kita sampai pada hakikat[53]. Reduksi transendental. Kita sampai pada subyek murni. Semua yang tidak ada hubungannya dengan kesadaran murni harus dikurungkan.[54] Basis filosofis Husserl ialah bahwa dunia yang tampak ini tidak memberi kepastian, kita perlu mencarinya dalam Erlebnisse: pengalaman yang sadar. Di situ kita bertemu dengan “aku”. Tetapi perlu dibedakan antara aku empiris yang tidak murni karena bergaul dengan dunia benda. “Aku” ini harus dikurung dan kemudian kita menuju aku murni yang mengatasi semua pengalaman. 34. Unit Analisis Fenomenologi memusatkan perhatian kepada masalah mikro. Fenomenologi mempelajari proses pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial pada tingkat interaksi tatap muka untuk memahaminya dalam hubungannya dengan situasi tertentu. Memperhatiakn Perubahan dan Proses Tindakan Fenomenologi memperhatikan perubahan dan proses tindakan. Fenomenologi berusaha memahami bagaimana keteraturan dalam masyarakat diciptakan dan dipelihara dalam pergaulan sehari-hari. Norma-norma dan aturan-aturan yang mengendalikan tindakan manusia dan yang memantapkan struktur sosial dinilai sebagai hasil interpretasi aktor terhadap kejadian-kejadian yang dialaminya karena manusia bukanlah wadah yang pasif sebagai tempat menyimpan dan mengawetkan norma-norma. Konstruksi Sosial Bagi fenomenologi, masyarakat adalah hasil konstruksi sosial Tujuan utama fenomenologi sosial adalah untuk mengungkap interaksi diantara proses tindakan-tindakan manusia, struktur situasional dan konstruksi sosial. Realitas Beberapa teori sosial memandang bahwa realitas itu ada di luar individu Bagi Fenomenologi, realitas berada di dalam diri manusia yaitu dunia subyektif manusia Suatu teori harusnya tidak berbicara tentang apa yang berada di luar kesadaran manusia, tapi tentang bagaimana dan dengan jalan apa dimensi subyektif aktor diciptakan, dipelihara dan dirubah. 35. Mazhab yang Digunakan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Batik Penajam Paser Utara

Soal Semester Genap Sosiologi Kelas XI IPS

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN SMA NEGERI I PANINGGARAN Alamat : Jl. Raya Paninggaran Pekalongan  É (0285) 521044 › 51164 Website : www.sman1paninggaran.sch.id E-mail : smanpaninggaran@yahoo.co.id   ULANGAN AKHIR SEMESTER G ENAP TAHUN PELAJARAN 2011 / 2012   PETUNJUK UMUM : 1.     Tulislah nama, nomor peserta, kelas/program pada lembar jawaban. 2.     Semua jawaban dikerjakan pada lembar jawaban yang tersedia. 3.     Kerjakan terlebih dahulu soal yang anda anggap paling mudah. 4.     Teliti kembali pekerjaan anda sebelum dikumpulkan. PETUNJUK KHUSUS : A.   Untuk soal nomor 1 s.d. 45  berilah tanda silang (X) pada huruf A , B , C , D , atau E yang anda anggap paling benar pada lembar jawaban yang tersedia! B.   Untuk soal no. 46 s.d. 50   jawablah dengan benar! Pilihan Ganda 1.     Masyarakat multikultural dapat diberi pengertian sebagai masyarakat yang... a.     Terdiri dua atau lebih kelompok atau go

PTK sosiologi

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Masalah Banyak kalangan pelajar menganggap belajar adalah aktivitas yang tidak menyenangkan, duduk berjam-jam dengan mencurahkan perhatian dan pikiran pada suatu pokok bahasan, baik yang sedang disampaikan guru maupun yang sedang dihadapi di meja belajar. Kegiatan ini hampir selalu dirasakan sebagai beban daripada upaya aktif untuk memperdalam ilmu. Mereka tidak menemukan kesadaran untuk mengerjakan seluruh tugas-tugas sekolah. Banyak diantara siswa yang menganggap, mengikuti pelajaran tidak lebih sekedar rutinitas untuk mengisi daftar absensi, mencari nilai, melewati jalan yang harus ditempuh, dan tanpa diiringikesadaran untuk menambah wawasan ataupun mengasah ketrampilan. Menurunnya gairah belajar, selain disebabkan oleh ketidaktepatan metodologis, juga berakar pada paradigma pendidikan konvensional yang selalu menggunakan metode pengajaran klasikal dan ceramah, tanpa pernah diselingi berbagai metode yang menantang untuk berusaha. T