Sistem yang gonta-ganti keputusan meluluskan siswa sangat besar dampaknya bagi generasi penerus bangsa. Guru yang berdiri di garda paling depan pendidikan dibuat pusing oleh peraturan ini. Adanya peraturan bahwa siswa lulus karena ada bantuan nilai raport semester 3, 4, dan 5 di tingkat SMA, membuat siswa malas berpikir, malas belajar, malas mengikuti jam tambahan sore, malas apapun. Mereka berpikir para guru pasti akan memberikan nilai yang tinggi di raport, pasti gurunya kasihan, sehingga akan diluluskan semua. Sebagian guru sekarang mengeluh siswa tidak ada semangatnya belajar, apakah karena peraturan tersebut? Siapa yang Setuju? bagaimana kalau sistem kelulusan seperti lima tahun yang lalu, bahwa UN adalah penentu satu-satunya kelulusan. Kali ini siswa yang protes, masa tiga tahun sekolah hanya ditentukan selama tiga hari. Tapi kalau peraturan seperti tahun ini, guru yang mengeluh wahai para siswa,,,,,,,kalian kurang sekali semangat belajarnya, seolah-olah pada percaya diri pasti lulus, gurunya akan ambruk nama baiknya kalau ada satu siswa yang tidak berhasil lulus, sehingga sekolah berlomba-lomba menaikkan KKM. Memang sebagai guru saya menyadari, kepala sekolah punya kepentingan dengan nama baiknya, otomatis kepsek berharap siswanya lulus 100%, kepala dinas juga punya urusan terkait dengan jabatannya, nah guru????? yang berdiri didepan kelas sepertinya kurang ikhklas kalau anak yang secara kompetensi belum lulus tapi harus diberi nilai tinggi agar dia tertolong kalau-kalau nilai UN nya kelak rendah. Siswa yang mengetahui peraturan ini, bagi yang punya bakat menyepelekan guru pasti akan tambah menyepelekan lagi. Saya sebagai guru tidak takut kalau ada siswa saya yang tidak lulus, apalagi kalau tahu anak tersebut sehari-hari tidak punya keinginan untuk tahu, untuk mengerti, untuk memahami pelajaran yang harusnya dia kuasai. Tahunya hanya berangkat, yang penting gurunya pasti tidak akan tega kalau tidak meluluskan.yah.....pendidikan macam apa ini.... sekolah bukan pencetak anak dengan kemampuan rendah dipaksa lulus untuk sekedar kepentingan nama baik sekolah, nama baik dinas kabupaten, nama baik propinsi, nama baik sebagian orang yang punya jabatan. guru paling tahu bagaimana kemampuan siswanya didalam kelas. generasi yang dibesarkan dengan kemudahan, dibuat tinggi nilai akademiknya demi sistem, demi lulus 100%, demi nama baik instansi, dapat apa mereka setelah keluar dari bangku sekolah??????????? apakah ini awal munculnya generasi koruptor? dimana tidak mau bekerja keras tapi dapat hasil yang maksimal. Apa yang kita tanam itulah yang akan kita penen kelak, sepertinya generasi penerus sudah melupakan kata bijak tersebut.hemmmmmmm.... Apakah saya akan berpikir seperti ini jika kelak menjadi pejabat di bidang pendidikan????
Komentar
Posting Komentar