Penggunaan
Gadget yang Baik bagi Siswa SD
Permainan
apa yang masih kita ingat ketika kecil? Memanjat pohon, petak umpet, kelereng,
gobak sodor, apakah permainan tersebut dapat kita temui sekarang? Ah sekarang
kita melihat pemandangan yang monoton,itu-itu saja, anak sekarang lebih asyik
dengan gadget daripada keluar rumah bersama anak seusianya untuk bermain
lari-larian, keliling kampung, pulang belepotan setelah mandi lumpur. Generasi
milenial sudah akrab dengan teknologi dari kecil, sebagaimana kita yang mungkin
lebih suka memasak nasi dengan magic com
daripada dengan panci dan kompor, atau bahkan kita juga lupa kapan terakhir
kali menyalakan pelita yang menerangi dalam kegelapan dengan sumbu minyak.
Paling mentok teknologi dalam hal permainan yang kita rasakan adalah bermain
tetris pada mesin bernama gembot,
mainnya gantian, siapa yang kalah harus rela menyelesaikan permainan. Mesin ini
tidak perlu dicharge seperti HP
android, melainkan menggunakan dua sampai tiga batu baterai kecil merk nasional
yang kalau sudah habis kita jemur diterik matahari, tanpa pernah bertanya apa
hubungannya baterai habis dengan teknik menjemurnya di bawah sinar matahari,
anehnya setelah dijemur beberapa jam itu batu baterai dapat digunakan lagi
hahahahah.
Anak
zaman now tidak paham asyiknya
bermain ketapel, memanjat pohon jambu yang sedang berbuah ranum, atau setiap
hari kubawa ternak ke padang rumput di kaki bukit (apa kabar anak gembala?).
Anak sekarang bisa memasak via permainan di gadget, tersedia banyak mainan
memasak dari roti, burger, membuat minuman yang semuanya semu, hanya pencat
pencet tombol atau layar sentuh di androidnya. Padahal memasak di dapur beneran
lebih mengasyikkan tentunya dengan pengawasan orang dewasa. Dari mulai memasak,
mencocokkan gambar, perang-perangan atau permainan tembak menembak, bermain salon
dengan memotong rambut, semuanya lewat layar sentuh, gadget, android, dan terkadang orang dewasa pun memainkannya. Semua
permainan tersedia, baik untuk anak laki-laki maupun perempuan. Apakah untuk
anak saja, oh ternyata tidak tengoklah game Pokemon
Go yang ramai beberapa waktu yang lalu. Jika ada game di sistem android,
keberadaannya akan lebih diminati daripada modul pembelajaran atau buku e-learning.
Generasi
menunduk, itulah sebutan yang pas untuk anak atau lebih tepatnya kondisi mereka
saat ini. Bukan menunduk karena malu, bukan menunduk karena mengheningkan
cipta, bukan ilmu padi semakin berisi semakin menunduk, ini kegiatan saling
fokus dengan layar gadgetnya, entah
itu bermain game, menonton video atau membaca sosial media (ngomong-ngomong
berapa persen anak SD yang sudah aktif bersosmed ya?). Setiap perubahan pada
bidang apapun selalu menyisakan dampak baik dan buruk, positif maupun negatif.
Tidak dipungkiri bahwa penguasaan dini teknologi anak zaman sekarang membawa
kebaikan yaitu mereka lebih mudah menerima dan mengikuti perkembangan teknologi
masa kini. Mereka tidak canggung memencet tombol-tombol, bahkan akan lebih
mudah mempelajari komputer sejak dini, bandingkan dengan generasi sebelumnya
yang bahkan masih nunak-nunuk ketika
hendak kirim email dengan lampiran file misalnya. Dampak negatifnya anak kurang
bergaul dengan teman seusianya, sehingga dampaknya akan membuat ia berkurang
rasa simpati bahkan empati dengan orang lain.
Masyarakat
akan selalu berkembang, kabarnya, yang abadi dalam masyarakat adalah perubahan
itu sendiri. Perubahan dalam hal teknologi sesuai dengan teori perkembangan,
bukan teori siklus. Teknologi berkembang mengikuti garis linier, yaitu semakin ke sini semakin canggih mengikuti tuntutan
zaman. Awalnya handphone diproduksi
untuk komunikasi, paling banter mendapat tambahan radio, atau senter. Sekarang
telepon pintar ini benar-benar “pintar”, canggih, sehingga penggunaannya pun
harus dikontrol, terutama jika digunakan oleh anak kecil. Diakui atau tidak,
hilangkan pikiran negatif, gadget
sangat membantu anak sekolah tentunya jika digunakan sebagaimana mestinya,
disitulah peran orangtua sangat dibutuhkan. Banyak orang dewasa, orangtua,
memiliki cara sendiri dalam mengawasi penggunaan gadget. Ada orangtua yang membolehkan anak memegang gadget hanya di akhir pekan, atau
silakan bermain gadget asalkan sudah
mengerjakan PR. Apakah fungsi gadget
(terutama anak usia SD) hanya sebatas bermain game saja? Selama ini iya sih,
bermain game sesuai minat mereka, apa iya mereka memanfaatkan gadget untuk
belanja tas branded kayak mamanya, atau memantau politik seperti
papanya? Baiklah, supaya penggunaan gadget bagi anak-anak tidak sebatas bermain
menghabiskan kuota, baterai, dan membuat mata lelah. Orangtua bisa mengajak
mereka mulai sekarang memanfaatkan gadget untuk pendidikan, mendukung literasi
seperti yang sedang hits alias kekinian. Karena melarang yang
benar-benar melarang tanpa ada imbalan kegiatan yang jelas lebih bermanfaat,
akan mematikan kreativitas anak-anak, lebih bijak orangtua berpikir kreatif
bagaimana membuat ide atau gagasan supaya anak lebih bijak dan bermanfaat
sambil mengajarkan budaya literasi melalui gadget.
Misalnya saja dengan mengajarkan anak bercerita melalui foto.
Bercerita
dengan Foto
Hari
gini, ketika makan di restoran lebih penting foto narsis daripada makanan yang
disediakan membuat memori telepon kita penuh dengan gambar-gambar untuk
menunjukkan eksistensi diri, tidak terkecuali anak-anak. Hobi fotografi (atau
hobi narsis?) ini dapat kita manfaatkan dengan mengajak mereka untuk dapat
bercerita melalui foto. Pernahkah mendengar metode atau teknik menulis dengan epistolary, itu lho, gaya menulis atau bercerita dengan
mengumpulkan dokumen, bisa surat, catatan harian, gambar, nota-nota, dan
lainnya. Cerpen atau novel baik dari dalam maupun luar negeri yang ditulis
dengan gaya epistolary akan
memberikan sensasi yang berbeda bagi pembacanya. Buku tentang Kartini, “Habis
Gelap Terbitlah Terang”, adalah salah satu contoh tulisan dengan teknik ini.
Orangtua
dapat meminta anak mengumpulkan foto atau gambar sesuai minat atau
keinginannya. Ambil contoh anak kita mengambil gambar perjalanan dia liburan ke
pantai, atau ke pegunungan. Dari foto yang terkumpul tersebut mintalah anak
untuk menceritakan kembali di kertas tentang pengalaman mereka selama
perjalanan berdasarkan foto yang mereka ambil. Dampingi mereka untuk berlatih
menulis dan merangkai kata demi kata sehingga menjadi kalimat yang utuh. Pramodya
Ananta Toer mengatakan bahwa “Menulis adalah berkerja untuk keabadian”,
tekankan kepada anak-anak hasil karya tulisan mereka akan menjadi
kenang-kenangan karya yang dapat dibaca kembali ketika mereka sudah dewasa.
Tentunya akan lebih menarik karena cerita mereka tidak hanya berisi tulisan,
tetapi ada gambar-gambar yang menyertai tulisan mereka. Biarkan anak menuliskan
cerita dengan tulisan tangan atau ajari mereka mengetik di komputer, bantu
menyelipkan gambar atau foto. Dan berikan anak reward jika dapat menyelesaikan atau membuat satu cerita utuh.
Literasi
Media ala Reporter Cilik
Selain
bercerita dengan foto, video juga dapat dijadikan ajang memamerkan hobi narsis
kekinian. Jika kita rajin melihat anak-anak mempunyai akun di youtube, akan
dapat kita lihat bahwa mereka (umumnya usia SD), sudah akrab dengan merekam
video dan memposting di chanel
youtube mereka. Sayangnya video yang diunggah adalah tentang mainan, misalnya
saja ulasan tentang mainan squisy
yang mereka miliki. Secara tidak langsung tanyangan seperti itu mengajari anak
kita untuk konsumtif, untuk membeli mainan yang sebenarnya tidak bermanfaat,
dampak dari menjamurnya video tentang pamer squisy
adalah banyak anak yang merengek-rengek minta dibelikan mainan tersebut.
Chanel youtube dapat kita manfaatkan untuk
mengajak anak kita membuat liputan ringan tentang kegiatan yang berisi
nilai-nilai edukasi. Kegiatan sehari-hari misalnya saja berkebun, menanam
bunga, memberi makan hewan peliharaan, atau membantu ayah menyiram tanaman saat
libur sekolah. Ajari mereka berdialog seolah-olah menjadi reporter, sebelumnya
bolehlah orangtua mengajak anak menonton tayangan televisi saat reporter
bertugas. Untuk tingkat lanjut, bawa anak kita ke pabrik pembuatan tahu/ tempe,
atau ke rumah tukang bakso untuk meliput cara pembuatan bakso sampai siap jual
di warungnya. Buatkan anak akun atau chanel
youtube, vlog, dan lain sebagainya untuk menampilkan hasil karya mereka. Selain
kegiatan sehari-hari, acara bertema budaya juga perlu kita perkenalkan kepada
anak-anak, caranya ajak mereka meliput acara adat istiadat setempat misalnya
saja bersih desa, atau sedekah laut, menonton Reog, dan lain sebagainya. Jangan
sampai generasi penerus bangsa menjadi akrab dengan budaya K-Pop tetapi tidak
mengetahui Ondel-ondel berasal dari daerah mana.
Menampilkan
foto, atau video dengan sedikit pengantar adalah salah satu bentuk membudayakan
literasi. Hendaknya untuk membiasakan anak literasi tidak langsung meminta anak
harus membaca buku rutin setiap hari, ingat anak-anak sekarang adalah generasi
milineal yang dari lahir sudah akrab dengan teknologi. Mungkin mereka tidak
kenal istilah “kutu buku” untuk anak atau individu yang gemar membaca dan
pintar. Cara belajar anak sekarang dengan tuntunan kurikulum 2013 adalah cara
belajar siswa aktif, tidak guru sentris. Hilangkan kekhawatiran berlebih dari
orangtua tentang bahaya laten penggunaan gadget,
bisa jadi anak akan down saat
tiba-tiba melarang mereka bermain dengan telepon pintarnya. Jangan kebiri
kreativitas mereka dengan ketakutan yang tidak berujung dari orangtua. Selalu
dampingi perkembangan anak-anak, biarkan mereka tumbuh dengan dunianya dan
sesuai usianya, kita sebagai orang dewasa tidak boleh lengah dan harus selalu
waspada dengan perubahan zaman. Teknologi bukan halangan untuk tetap mewariskan
kearifan lokal bagi generasi penerus bangsa, harusnya adalah dengan teknologi
anak-anak jadi tahu jati diri bangsa. Salam literasi...
Komentar
Posting Komentar