GURU
DAN KELAS SOSIAL
Suatu jenis pekerjaan
hendaknya diberi imbalan yang lebih tinggi karena alasan tingginya tingkat
kesulitan dan kepentingannya, sehingga memerlukan bakat dan pendidikan yang
lebih hebat pula (Davis dan Moore dalam Paul B. Horton, 2004)
Pada tahun 1990-an masyarakat Indonesia
tertegun oleh sebuah lagu ciptaan Iwan Fals, tentang sosok guru bernama Oemar
Bakri. Bagi kita yang hafal syairnya dapat membayangkan sosok guru dalam lagu
itu, dengan gaji kecil, menaiki sepeda ontel, tas hitam dari kulit buaya, atau
kalau guru jaman dulu sedikit lebih beruntung bisa memilki sepeda motor bebek
tahun 70-an yang tentu saja mesinnya dibawah 100 cc. Beberapa waktu yang lalu
kita juga terbuai oleh novel tetralogi laskar pelangi yang juga menceritakan
sosok guru di pedalaman Sumatra sana, bu Muslimah dan pak Harfan. Mereka digaji
beberapa liter beras setiap bulannya, malahan bu Muslimah menerima jahitan baju
dirumah untuk menopang ekonomi keluarganya.
Bagaimana dengan guru
jaman sekarang? Masihkah ada guru seperti bapak Oemar Bakri, bu Mus, dan pak
Harfan? Mari kita tengok bersama. Untuk guru yang telah bersertifikasi, mereka
berhak mendapat tunjangan satu kali gaji pokok. Sehingga ada kelakar yang
dilontarkan guru, pekerjaan boleh Oemar Bakri, tapi gajinya Aburizal Bakrie.
Kalau guru dengan pangkat Guru Madya
(III/a) masa kerja 0 tahun 0 bulan, sudah berhak dengan gaji beserta
tunjangannya hampir 2 juta rupiah setiap bulan. Belum lagi ketika nanti
mendapat giliran untuk maju sertifikasi. Walaupun untuk peraturan 2013
sertifikasi harus melalui jalur pendidikan 1 tahun yaitu PPG(Pendidikan Profesi
Guru). Menggunakan biaya pribadi, tetapi setelah itu uang yang didapat sangat
besar dan biaya PPG yang mahal tidak berarti apa-apa.
Banyak kalangan
memperbincangkan apapun tentang sertifikasi, remunerasi untuk angkatan
bersenjata, dan terakhir bidang kesehatan pun “latah” untuk mendapatkan
sertifikasi. Bukan masalah sertifikasi yang akan dibahas, tetapi dampaknya bagi
guru terkait dengan kelas sosial yang didapatkannya.
Sepeda montor, mobil,
gelar haji, rumah mewah, bisnis ini dan itu, sudah bukan barang asing lagi bagi
sosok guru. UU guru dan Dosen tahun 2005 merupakan angin segar bagi profesi
kependidikan. Kedudukannya setara dengan pekerja profesional lainnya. Kalau
dekade 70-an dan 80-an, orangtua ketika anak perempuannya sulit diatur, bapak
akan mengancam nanti tak nikahkan dengan guru. Bayangan ketika itu sosok guru
adalah pekerjaan dengan gaji kecil, tanggal tua sudah tidak memiliki uang
sehingga harus berhutang kewarung. Tapi sekarang, profesi guru justru dicari,
banyak orang dengan pekerjaan bonafid mencari calon pasangan hidup dari bidang
pendidikan. Banyak dibutuhkan, jam kerjanya tidak sampai sore dan masih banyak
lagi kelebihan profesi guru, selain dapat mendidik anak dengan gaya mendidik
muridnya, dan juga pendapatan yang tergolong tinggi bila dibandingkan dengan
pegawai negeri lain.
Sudah biasa ketika anak
seorang dokter menjadi dokter, guru pun demikian, anak dari guru ketika melihat
orangtuanya dan bagaimana ekonominya sekarang akhirnya menjatuhkan pilihannya
pada profesi pendidikan. Jarang sekali yang memilih profesi wiraswasta. Profesi
guru dari tingkat apapun, SD, SMP, SMA boleh berbangga hati dengan kebijakan
pemerintah saat ini, yang sangat memperhatikan basib pendidik putra-putri
bangsa. Keberhasilan pendidikan ada dipundak mereka, sebagai orang yang berdiri
digarda paling depan, sudah selayaknya mendapat imbalan yang sesuai. Syair lagu
Hymne Guru sudah direvisi, ....engkau patriot pahlawan bangsa...tanpa tanda
jasa, sekarang berubah menjadi ...engkau patriot pahlawan bangsa ...insan
cendekiawan. Memang, bukan tanda jasa seperti yang didapatkan angkatan
bersenjata, Bintang Lima, misalnya. Tetapi tanda jasa dalam bentuk materi yang
menaikkan status sosial. Diharapkan perubahan pendapatan ini menambah semangat
para pendidik untuk terus berjuang mencerdaskan anak bangsa.
Dampak negatifnya?
Pasti ada. Guru yang dulu dipandang sebagai sosok yang bersahaja, anggun cara
berpakaiannya, santun tutur katanya, hilang ketika melihat sosok guru yang
mengalami culturel shock, kekagetan budaya, dari gaji kecil menjadi semacam
orang kaya baru. Guru perempuan memakai banyak perhiasan seperti toko mas
berjalan, diruang guru yang diperbincangkan mobil, hutang, peralatan rumah
tangga buatan luar negeri, sepatu baru, kenaikan gaji, rapelan ini itu,
Lho.....??? seolah-olah tidak ada waktu untuk memperdebatkan inovasi dalam
pendidikan yang diperlukan untuk memperbaharui cara mengajar didalam kelas.
Sedikit sekali guru yang ketoko buku untuk membeli buku supaya ilmunya
bertambah. Masih banyak juga guru yang masih menggunakan metode konvensional
didalam kelas. Padahal teknologi modern sudah banyak bermunculan. Mengapa guru
masih jalan ditempat dalam pekerjaannya padahal materi atau uang yang mereka
dapatkan terus bertambah. Setuju, kalau berbagai pihak gencar menyoroti kinerja
guru. Sehingga banyak aturan yang dibuat agar dana sertifikasi yang diterima
guru dapat cair. Jam mengajar 24 jam setiap minggu, pengembangan diri, karya
tulis ilmiah, karangan populer dan masih banyak lagi administrasi yang harus
dipenuhi. Harapannya bagus, agar uang negara yang sudah dialokasikan untuk
pendidikan tidak berujung sia-sia. Teruslah berkarya para pendidik bangsa,
jangan sia-siakan kepercayaan masyarakat yang dibebankan dipundak kita.
Buktikan kita layak mendapatkan tanda jasa lewat keprofesionalan kita.
Komentar
Posting Komentar