DOUBLE BURDEN (BEBAN GANDA) PEREMPUAN BEKERJA
Oleh Luluk Wulandari, S.Pd
Sosiolog (staf pengajar di SMA 1 Paninggaran)
Ketika masih gadis perempuan diharuskan hormat dan menurut kepada bapaknya, ketika menjadi istri perempuan harus tunduk kepada suaminya, setelah jadi janda perempuan menurut dan bersandar kepada anak laki-lakinya, perempuan baru dapat bersuara ketika dia sudah menjadi mertua.
Seringkali dalam pengalaman sehari-hari atau dalam kegiatan penelitian, manakala kita mendatangi seorang ibu yang sedang menggendong anaknya sambil menyapu rumah atau mencuci baju dan menanyakan padanya apakah dia bekerja atau tidak, ia mengatakan bahwa ia tidak bekerja atau “menganggur”. Demikian pula, apabila kita melihat seorang ibu sedang duduk dilantai rumahnya menganyam tikar untuk diserahkan kepada pedagang keliling pada akhir minggu dan kita menanyakan kepada tetangganya atau bahkan ketua RT mereka apakah ibu tersebut bekerja atau tidak jawabannya adalah “mengganggur” atau sedang “mengisi waktu luang” atau “kerja sambilan” (Saptari dan Holzner, 1997)
Definisi tentang kerja seringkali tidak hanya menyangkut apa yang dilakukan seseorang tetapi juga menyangkut kondisi yang melatarbelakangi kerja tersebut, serta penilaian sosial yang diberikan kerja tersebut. Masyarakat kita telah mengalami komersialisasi serta berorientasi pasar, seringkali diadakan pembedaan yang ketat antara kerja upahan atau kerja yang menghasilkan pendapatan dan kerja bukan upahan atau kerja yang tidak mendatangkan pendapatan. Kerja upahan dianggap kerja produktif dan kerja bukan upahan dianggap kerja tidak produktif. Pandangan demikian sebenarnya tidak lepas dari dua macam bias kultural yang ada dalam masyarakat kita. Pertama, pandangan bahwa uang merupakan ukuran atas bernilai/berarti tidaknya suatu kegiatan. Kedua, kecenderungan melakukan dikotomi tajam terhadap semua gejala yang ada.
Krisis ekonomi yang berakibat di PHK-nya laki-laki menyebabkan kaum perempuan tampil menjadi penyelamat hidup keluarganya, mereka melakukan kerja apa saja asal bisa bertahan hidup, menjadi TKW, jualan makanan, menjadi tukang cuci, menjadi buruh di pabrik-pabrik dsb, namun jerih payah mereka tetap belum diakui sebagai nafkah utama melainkan hanya nafkah tambahan. Sebagai pekerja yang mencari nafkah untuk keluarganya, perempuan mengalami beban ganda (double burden) yakni pembagian tugas dan tanggungjawab yang selalu memberatkan perempuan. Adanya anggapan bahwa perempuan secara alamiah memiliki sifat memelihara, mengasuh, merawat dan rajin, mengakibatkan semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggungjawab kaum perempuan. Konsekuensinya, banyak perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapihan rumah tangganya., serta menjaga kelangsungan sumber-sumber tenaga kerja produktif, mulai dari menyapu, mengepel, mencuci, memasak, mencari air, memelihara anak dan lainnya. Banyak terjadi dikalangan keluarga miskin beban yang sangat berat ini harus ditanggung perempuan sendiri, terlebih lagi jika perempuan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, maka ia memikul beban kerja ganda.
Sebagai contoh, banyak perempuan yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS), katakanlah suami istri sama-sama bekerja sebagai guru atau pegawai kantor pemerintahan. Bangun pagi istri harus menyiapkan sarapan untuk suami dan anak, bahkan ada yang sempat menyapu dan mencuci baju. Sedangkan sang suami duduk membaca koran sambil minum kopi, menonton acara berita pagi ditelevisi atupun menyiapkan pekerjaannya dikantor. Keluarga muda sekarang memilih menggunakan jasa pembantu rumah tangga untuk meringankan beban kerjanya, yang lagi-lagi berjenis kelamin perempuan. Pembantu rumah tangga laki-laki hanya bekerja di luar rumah sebagai tukang kebun atau sopir pribadi. Dan pada akhir-akhir ini pembantu rumah tangga sebagian besar juga ternyata menimbulkan banyak masalah baru.
Harus ada pemahaman yang benar terhadap konsep gender, sehingga tidak ada lagi masyarakat (terutama laki-laki) yang mengatakan bahwa menyapu, memasak adalah kodrat perempuan. Benarkah kodrat? Ataukah hanya kebiasaaan yang langgeng sehingga seolah-olah menjadi kodrat. Suatu sifat yang dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan, bisa berubah dari waktu kewaktu, berbeda antar wilayah adalah konsep gender. Sedangkan kodrat adalah ketentuan dari Tuhan yang tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Karena laki-laki punya sel sperma maka dia membuahi, perempuan karena memiliki sel ovum, menstruasi, memiliki rahim, sehingga dia ditakdirkan untuk dapat hamil, menyusui, itulah konsep kodrat. Sedangkan menyapu, memasak, mencuci baju semua jenis kelamin dapat melakukan, hanya karena kebiasaan masyarakat yang selama ini menganut budaya patriarki (cenderung ke laki-laki) banyak laki-laki yang malu untuk melakukan perkerjaan domestik seperti menyapu, mengasuh anak,dsb. Bahkan ketika pasangan suami istri menerapkan kesetaraan gender dalam rumah tangganya, dapat dikatakan sudah melek gender ketika istri sibuk mengerjakan urusan dapur sang suami mengajak anaknya yang masih kecil jalan-jalan keliling komplek rumahnya agar tidak mengganggu pekerjaan sang ibu, ada saja tetangga yang mencaci, mengejek, dibilang laki-laki kok momong anak, pasti dia laki-laki takut istri, istilah yang biasa kita dengar STI (suami takut istri), atau DKI (dibawah ketiak istri). Ketika pulang kerja pun, perempuan sebagai pegawai negeri maupun swasta tetap mengerjakan urusan domestik, jarang ada laki-laki yang mau membantu pekerjaan ranah domestik. Sampai malam pun sang ibu masih menemani anak belajar mengulang pelajaran di sekolah. Bisa dikatakan perempuan tidur paling larut dan bangun paling pagi dalam sebuah rumah tangga. Semua dapat dilakukannya, mulai dari mengatur keuangan, menata kebersihan rumah, mengasuh anak dan lainnya.
Terjadi ketimpangan ketika kita melihat bagaimana dengan koki restoran terkenal yang sebagian besar adalah laki-laki, bukankah masyarakat beranggapan memasak adalah urusan perempuan? Mengapa ketika memasak menjadi pekerjaan profesional dengan gaji tinggi justru laki-laki yang menempati posisi sebagai koki. Masih banyak profesi yang ketika menjadi urusan domestik dipegang oleh perempuan tetapi ketika sampai ke publik menjadi profesi laki-laki, penata rambut terkenal misalnya, dokter kandungan, dan masih banyak lagi.
Dalam Al-Quran tidak ada satu Ayat pun, baik secara eksplisit maupun implisit menyatakan bahwa laki-laki lebih unggul dari mahkluk yang namanya perempuan. Peran paling menonjol dari agama Islam sebagai agama yang sempurna adalah dalam mendobrak keterbelakangan dunia dimasa ketika dia datang. Salah satu pendobrakan itu adalah melepaskan belenggu dan sekaligus meninggikan harkat dan martabat perempuan( QS. At Takwir: (81) 8-9), An Nahl (16): 57-59. Perlu kerjasama berbagai pihak, agar keadilan untuk perempuan dalam berbagai hal dapat terwujud. Negara maju diukur dari kesehatan, pendidikan dan yang ketiga adalah kesetaraan gender.
Komentar
Posting Komentar